pulsa listrik

pulsa listrik

25/11/09

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari hadits dan ilmu hadits Nabi SAW. tentunya tidak lengkap jika tidak disertai dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangannya. Sebab hal ini adalah pengantar dalam mempelajari hadits dan ilmu hadits. Tentunya juga dengan mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, kita bisa mengetahui ilmu-ilmu hadits dan sejarah ilmu-ilmu hadits serta pokok-pokok dasar yang menjadi tolak ukur dalam menerima hadits.
Manfaat dan tujuan mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits, kita akan mengetahui periode-periode dan proses yang dilewati oleh hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa. Ini merupkan gambaran bagi umat Islam atas kesungguh-sungguhan para ahli hadits dalam mengabadikan hadits Rasul SAW. sehingga sampai kepada kita dengan disertai ilmu-ilmu hadits.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hadits di masa rasul?
2. Bagaimana hadits setelah wafatnya rasul?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. Mengetahui hadits di masa rasul
2. Mengetahui hadits setelah wafatnya rasul?

D. Manfaat Penulisan
Makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan seseorang. Dan mudah-mudahan makalah ini menjadi pengetahuan bermanfaat bagi seseorang yang berkeinginan mempelajari sejarah hadits Nabi SAW.

E. Metode penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah deskriptif. Dan makalah ini diambil dari beberapa buku yang menjadi rujukan serta internet.











BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits di masa Rasul SAW.
Hadits di masa Rasul SAW. merupakan hadits periode pertama, yakni masa wahyu dan masa pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi bangkit (ba’ats, diangkat sebagai Rasul) hingga beliau wafat pada tahun 11 H. atau 632 M. (13 SH.-11 H.).
Pada periode pertama ini para sahabat dapat bertemu langsung dengan Nabi SAW. Mereka bisa secara bebas bertanya mengenai suatu hukum, baik ketika Nabi sedang ceramah terbuka di suatu majelis, bertanya kepada Nabi dengan mendatangi rumah beliau atau mengutus seseorang ke rumah beliau. Atau para sahabat bisa bertanya kepada Nabi di mana pun beliau berada, seperti di Masjid, di pasar, dan di perjalanan. Ceramah terbuka yang diberikan beliau kepada para sahabat sering kali disampaikan pada hari Jum’at, hari raya dan hari-hari yang tidak ditentukan apabila waktu dan keadaannya memungkinkan. Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu Mas’ud:
كان النّبي ص . م . يتخوّلنا بالموعظة تلو الموعظة فى الأيّام ، كراهة السّأمة علينا .
Artinya: “Nabi SAW. selalu mencari waktu-waktu yang baik untuk memberikan pelajaran supaya kami tidak bosan”.
a. Problematik hadits di masa Rasul SAW.
Hadits pada masa Rasulullah, mengalami larangan langsung dari beliau kepada para sahabat untuk menuliskannya, sebab pada waktu itu masih berlangsung turunnya ayat-ayat suci Al-Quran. Larangan dari Rasul SAW. ini bertujuan supaya penulisan Al-Quran tidak bercampur dengan apa pun termasuk dengan perkataan beliau. Oleh itu hadits pada masa Rasulullah berada dalam kendali dan pengawasan beliau sendiri, baik secara langsung atau tidak. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Said Al-Khudry:
لا تكتبوا عنّي غير القرآن ، ومن كتب عنّي غير القرآن فليمحه .
Artinya: “Janganlah engkau tulis apa yang engkau dengar dariku selain dari Al-Quran. Barang siapa yang telah menulis sesuatu yang selain dari Al-Quran, hendaklah dihapuskan”.
لا تكتبوا عنّي شيئا إلاّ القرآن ، ومن كتب عنّي شيئا غير القرآن ، فليمحه وحدّثوا عنّي ولا خرج ، ومن كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار .
Artinya: “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Al-Quran. Barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain Al-Quran hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka”.
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya yang berjudul “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits” menulis kemungkinan-kemungkinan penyebab hadits pada masa Rasulullah tidak dibukukan:
1. Men-tadwin-kan (membukukan) ucapan, amalan, serta muamalah Nabi adalah suatu hal yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas, padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung. Oleh karena Al-Quran sumber tasyri’ asasi, maka dikerahkan beberapa orang penulis untuk menulis Al-Quran dan Nabi memanggil mareka untuk menuliskan wahyu itu setiap kali turun.
2. Karena orang Arab-disebabkan mereka tidak pandai menulis dan membaca tulisan-kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya. Mempergunakan waktu untuk menghafal Al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur itu adalah suatu hal yang mudah bagi mereka, namun tidaklah demikian terhadap Al-Hadits.
3. Dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Quran dengan tidak sengaja. Karena itu Nabi, melarang mereka menulis hadits karena khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.
b. Pembatalan larangan menulis hadits
Pada kenyataannya telah ditemukan sahifah-sahifah berisi hadits yang ditulis pada masa Rasulullah SAW. Dan kita tidak berani mengatakan bahwa ada sebagian sahabat yang tidak menghiraukan perintah beliau atas larangan menulis hadits-hadits, seperti sahabat:
1. ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash r.a. (7 SH.-65 H./627 M.–685 M.) dalam himpunan Ash-Shahifah As-Shadiqah, berisi 1000 hadits.
2. ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. (w. 68 H./687 M.)
3. ‘Ali bin Abi Thalib r.a. (w. 40 H./661 M.) mengenai hukum-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi.
4. Sumrah bin Jundab r.a. (w. 60 H.)
5. Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshari r.a. (63 H.–73 H.) dalam himpunan Shahifah Jabir. Mengenai kewafatan Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshari ada perbedaan di dalam buku ikhtisar musthalhul hadits, karya Drs. Fatchur rahman dengan Hujair AH. Sanaky di internet. Drs. Fatchu rahman dalam bukunya menulis bahwa Jabir r.a wafat pada tahun 73 H. sedangkan Hujair AH. Sanaky menulis wafatnya Jabir r.a (78 H./697 M.).
6. ‘Abdullah bin Abi Aufa’ r.a. (w. 86 H.).
7. Anas bin Malik r.a..
Karena setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash diperbolehkan oleh Nabi SAW. menulis hadits-hadits. Sabda Nabi kepada ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
اكتب عنّي ، فوالّذى نفسي بيده ، ما خرج من فمى إلاّ حقّ
Artinya: “Tulislah apa yang engkau dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku melainkan kebenaran”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqy bahwa Abu Hurairah berkata:
ما من أحد من أصحاب النّبيّ ص . م . أكثر حديثا عنه منّي إلاّ ما كان عند عبد الله بن عمر بن العاص فإنّه كان يكتب ولا أنا أكتب .
Artinya: “Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi SAW. yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadits Rasul daripada aku, selain ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dalam shahih-nya pada kitab Al-‘Ilm dari Abu Hurairah, berkata:
إنّ خزاعة – هذيلا – فتلوا رجلا من بني ليث عام فتح مكّة بقتيل منهم فقتلوه فأخبر بذلك النّبي ص . م ، فركب راحلته ، فخطب فقال : " إنّ الله حبس عن مكّة القتل وسلّط عليهم رسول الله والمؤمنين . وإنّها لم تحلّ لأحد بعدي ألا وإنّها أحلت لي ساعة من نهار ، وإنّها ساعتي هذه : حرام لا يختلى شوكها ، ولا يؤخذ شجرها ، ولا تلتقط ساقطتها إلاّ لمنشد . فمن له قتيل فهو بخير النّظرين : إمّا أن يعقل ، وإمّا أن يقاد أهل القتيل .
Artinya: “Bahwasannya golongan Khuza’ah (Hudzail) membunuh seorang lelaki Bani Laits pada tahun Nabi mengalahkan kota Makkah, disebabkan satu pembunuhan yang telah lama dilakukan oleh Bani Laits terhadap bani Khuza’ah. Kejadian itu dibertitahukan kepada Nabi SAW. maka Nabi SAW. mengendarai kendaraanya lalu berkhutbah: “Bahwasannya Allah telah mencegah (melarang) pembunuhan di Makkah dan telah diberikan kekuasaan negeri Makkah kepada Rasul-Nya dan para mukmin dan bahwasannya Makkah itu tidak dihalalkan bagi seseorang sebelumku dan tidak pula seseorang sesudahku. Ketahuilah, bahwasannya bahwasannya dia telah dihalalkan bagiku pada suatu saat disuatu siang, dan inilah saatku. Makkah itu harram (dilindungi), tidak boleh dipotong durinya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh diambil barang-barang yang jatuh dari yang empunya, terkecuali untuk dicari siapa empunya. Maka barangsiapa telah dibunuh salah seorang anggota keluarganya, maka dia boleh memiliki salah satu dari dua pilihan yang terbaik, yaitu: apakah dia menerima diyat, dan apakah dia menuntut bela””.
Kemudian datanglah seorang lelaki penduduk yaman dan berkata: “Ya Rasulallah, tuliskan untukku!”. Maka Nabi SAW. bersabda:
أكتبوا لأبي شاة .
Artinya: “Tuliskanlah untuk Abu Syah ini”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang di-nasakh-kan oleh Abu Said, di-mansukhkan-kan dengan izin yang datang sesudahnya. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran.
Tegasnya mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita pahami bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al-Quran, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.
Memang kita dapat menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan umat secara umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang. Riwayat Abdullah bin Umar menguatkan pendapat ini.
Dikatakan pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al-Bukhary yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam keadaan sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi karena Nabi sedang sakit, umar menghalangi beliau untuk melanjutkan pesan-pesannya, karena ditakutkan sakit Rasul SAW. bertambah parah.
Dapat pula dipahamkan, bahwa sesudah Al-Quran dibukukan, ditulis dengan sempurna dan telah pula lengkap turunnya, barulah diperbolehkan menulis sunnah.

B. Hadits di masa Khulafa’ Rasyidin
Hadits pada masa Khulafa’ Rasyidin adalah masa membatasai riwayat (12 H.– 40 H.). Membatasi riwayat dalam pengertian sangat berhati-hati dalam menyikapi periwayatan hadits dari para sahabat kepada sahabat yang lain, karena pada waktu itu masih dalam tahap pembukuan Al-Quran.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. pengembangan hadits tidak begitu pesat, disebabkan kebijakan kedua khalifah dalam masalah hadits, mereka mengintruksikan agar berhati-hyati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan Khalifah Umar r.a. melarang keras untuk memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini bermaksud untuk tetap menjaga kemurnian ayat-ayat Al-Quran dan umat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian Al-Quran dan penyebarannya.
Sebuah riwayat dari Hakim: bahwa pada suatu malam Khalifah Abu Bakar sangat merasa bimbang. Pagi harinya Abu Bakar menemui putrinya, Aisyah r.a. dan meminta kumpulan hadits yang ada padanya, kemudian Abu Bakar membakarnya.
Berbeda dengan khalifah ‘Utsman r.a. dan ‘Ali r.a., mereka memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits. Tetapi kelonggaran itu sangat disertai dengan kehati-hatian agar kemurnian ayat-ayat Al-Quran tetap terjaga. Khalifah ‘Ali r.a. melarang penulisan hadits hanya kepada orang-orang awam, sebab beliau sendiri mempunyai shahifah hadits.
Perintah menyampaikan hadits dan ancaman untuk pendusta hadits
Sebelum Rasulullah SAW. Wafat, beliau banyak memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menyampaikan hadits. Dalam sebuah hadits yang diberitakan oleh Ibnu Abdi Al-Barr dari Abu Bakrah bahwa Nabi SAW. bersabda:
ألا ليبلّغ الشّاهد منكم الغائب .
Artinya: “Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir”.
Nabi SAW. pernah bersabda:
نضّر الله امرأ سمع منّي مقالتي فحفضها ووعاها فأدّاها كما سمع فربّ مبلّغ أوعى من سامع .
Artinya: “Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan difahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar krena banyak sekali orang yang disamapaikan berita kepadanya, lebih paham daripada yang mendengarnya sendiri”. (Hadits ini diriwatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari riwayat Zaid bin Tsabit).
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu Amr bin ‘Ash, bahwa Nabi SAW. bersabda:
بلّغوا عنّي ولو أية .
Artinya: “Sampaikanlah dariku, walaupun hanya satu ayat”.
Menurut Al-Mudhhiry hadits ini bermakna supaya menyampaikan hadits-hadits Nabi SAW. meski sedikit.
Nabi saw memerintahkan agar para sahabat berhati-hati dalam menyampaikan suatu hadits. Rasul SAW. bersabda:
كفى بالمرء إثما أن يحدّث بكلّ ما سمع .
Artinya: “Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala apa yang didengarnya”. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).

C. Hadits di masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar
Masa ini disebut sebagai masa ketiga, yakni masa berkembang riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadits. (41 H.-akhir abad pertama H.).
Setelah khalifah ‘Ali r.a. wafat maka timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya ke masyarakat luas.
Pada tahun 17 H. tentara Islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H. mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H. mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H. tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H. tentara Islam menaklukan Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudian menjadi “Perguruan” tempat mengajarkan Al-Quran dan Al-Hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.
Sebagai contoh lawatan para sahabat pada waktu itu adalah Abu Ayyub Al-Anshary pernah pergi ke Mesir untuk menemui Uqbah bin Amr untuk menanyakan sebuah hadits kepadanya. Hadits yang dimaksud Abu Ayyub adalah sabda Nabi SAW.:
من ستر مسلما في الدّنيا على كربته ، ستره الله يوم القيامة .
Artinya: “Barang siapa menutupi seorang Muslim di dalam dunia terhadap kesukaran yang menimpa Muslim itu, niscaya Allah menutupinya di hari kiamat”.
a). Sahabat yang mendapat julukan “Bendaharawan Hadits”
Yang dimaksud bendaharawan hadits adalah sahabat yang meriwayatkan hadits lebih dari 1.000 hadits. Mereka memperoleh riwayat yang banyak itu karena:
1). Yang paling awal masuk Islam, seperti Khulafa’ Rasyidin dan ‘Adullah bin Mas’ud r.a..
2). Terus menerus mendampingi Rasulullah SAW. dan hapalannya kuat, seperti Abu Hurairah r.a..
3). Selain mendengar dari Nabi SAW. mereka menerima riwayat dari sebagian sahabat dan berusia panjang, seperti Anas bin Malik r.a., walau pun beliau masuk Islam setelah Nabi SAW. menetap di Madinah.
4). Lama menyertai Nabi SAW. dan mengetahui keadaan Nabi SAW. karena bergaul erat dengan Nabi SAW. seperti isteri-isteri beliau Aisyah dan Ummu Salamah.
5). Berusaha untuk mencatatnya, seperti ‘Abdullah bin Amr bin ‘Ash r.a..
Di antara sahabat yang mengembangkan periwayatan hadits adalah: Abu Hurairah, Aisyah (isteri Rasul), Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Abbas, ‘Abdullah bin Umar, Jabir bin ‘Abdillah, Abu Said Al-Khudry, Ibnu Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash.
Dan di antara kota yang menjadi pusat-pusat hadits adalah: Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam dan Mesir.
b). Mulai muncul pemalsuan hadits.
Penyebab pemalsuan hadits pada masa itu adalah berawal dari pembunuhan Khalifah ‘Utsman r.a.. dan ketika Khalifah ‘Ali r.a. meninggal dunia. Karena pada masa itu umat sudah Islam terpecah belah, seperti Syi’ah, Khawarij dan golongan Jumhur. Mereka membuat hadits palsu untuk kepentingan golongan mereka sendiri. Agar apa yang disampaikan mereka dapat dipercaya oleh masyarakat, karena didorong oleh hawa nafsu berpolitik.
Ibnu Abi Al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dalam kitabnya Syarah Nahju Al-Balaghah, dia menulis: “Ketahuilah asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi’ah sendiri”. Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur) yang bodoh-bodoh. Mereka membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits palsu dari kaum Syi’ah. Dari keterangan ini, Iraq terkenal dengan kota yang mula-mula mengembangkan hadits palsu, sebab di Iraq kebanyakan kaum Syi’ah. Imam Malik sendiri menamakan Baghdad sebagai “Pabrik hadits palsu".

D. Masa pembukuan hadits
Sejarah penghimpunan hadits secara resmi dan massal baru terjadi setelah khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk menuliskannya (dari permulaan abad ke-2 H. hingga akhirnya). Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kapala Negara dan dikatakan massal karena perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadits. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dinobatkan sebagai Khalifah pada tahun 99 H.
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah meminta kepada gubernur madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr ibn Hazmin (120 H.) yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits. Al-Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah Binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah Ades, seorang ahli fiqih, murid Aisyah (20 H./642 M.-98 H./716 M. atau 106 H/742 M.), dan hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shidiq (107 H./725 M.), seorang pemuka tabi’in dan salah seorang fuqaha tujuh Madinah.
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menulis surat kepada Abu Bakr bin Hazm sbb:
أنظر ما كان من حديث رسول الله ص . م . فاكتبه فإنّي خفت دروس الرّسول ص . م ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتّى يعلم من لايهلك حتّى يكون سترا .
Artinya: “Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain dari hadits Rasul dan hendaklah anda tebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia”.
Ibnu Hazm melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (w. 124 H.), seorang ulama besar di Hijaz dan Syam, kedua ulama tersebutlah yang sebagai pelopor dalam kodifikasi berdasarkan khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
a). Sistem pembukuan hadits.
Sistem pembukuan hadits pada awal pembukuannya, agaknya hanya sekedar mengumpulkan saja tanpa memperdulikan selektifitas terhadap susunan hadits Nabi, termasuk didalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, “ulama diperiode ini cenderung mencampur adukan antara hadits Nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in, mereka belum mengklasifikasikan kandungan nash-nash menurut kelompoknya”.
Dengan demikian pembukuan hadits pada masa ini boleh dikatakan cenderung masih bercampur baur antara hadits dengan fatwa sahabat.
b). Tokoh-tokoh pengumpul hadits
Setelah periode Abu Bakr bin Hazm dan Ibnu Syihab Al-Zuhri, periode sesudahnya bermunculannya ahli hadits yang bertugas sebagai kodifikasi hadits jilid ke-2, yaitu:
a. Di Makkah, Ibnu Jurraj (80 H./669 M.-150 H./ 767 M.)
b. Di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 M-768 M.), dan Imam Malik bin Anas (93 H./703 M.- 179 H./ 798 M.)
c. Di Bashrah, Ar-Rabi’ Ibnu Shihab (w. 160 H./777 M.), Hammad Ibnu Salamah (176 H.), dan Said Ibnu Abi Arubah (156 H./773 M.)
d. Di Kufah, Sofyan Tsauri (w. 161 H.)
e. Di Syam/ Syiria, Al-‘Auza’i (w. 156 H.)
f. Di washith/Iraq, Hasyim Al-Wasyithy (104 H./772 M.-188 H./804 M.)
g. Di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95 H./753 M.-153 H./770 M.)
h. Di Rey, Jarir Adh-Dhaby (110 H./728 M.-188 H./797 M.)
i. Di Khurasan/Iran, Jarir bin Abdul Namid (w. 188 H.) Ibnu Al-Mubarak (118 H./735 M. – 181 H./797 M.)
j. Di Mesir, Al-Laits Ibnu Sa’ad (175 H.)
c). Kitab-kitab hadits yang ditulis pada abad ke-2 Hijriah
Kitab-kitab yang disusun pada periode ini jumlahnya relatif sedikit yang sampai kepada umat Islam hari, ini di antara karya monumental yang dihasilkan oleh karya terdahulu yang sampai pada masyarakat muslim saat ini :
1). Al-Muwatha, oleh Imam Malik
2). Al-Musnad, oleh Imam Syafi’i
3). Ikhtilaf Al-Hadits, oleh Imam Syafi’i
Hadist ini dipandang unggul dan menempati kedudukan istimewa dikalangan para ahli hadist dan penggiat ilmu ini.
d). Ciri-ciri hadits yang ditulis pada abad ke-3 Hijrah
a. Pada umumnya kitab-kitab hadits pada masa ini menghimpun hadits-hadits Rasulullah serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.
b. Himpunan hadits pada masa ini masih bercampur baur dengan topik yang ada seperti bidang Tafsir, Sirah, Hukum, dan lainnya.
c. Di dalam kitab-kitab hadits pada periode ini belum dijumpai pemisahan antara hadits-hadits yang berkualitas shahih, hasan, dan dha’if.

E. Masa pemurnian, penshahihan dan penyempurnaan kodifikasi.
Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (awal abad ke-3 H., hingga akhir) sampai pada awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasyiah. Pada masa ini ulama memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama pada kemurnian hadits Nabi SAW. sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits yang semakin marak.
1. Kegiatan pemalsuan hadits
Pada abad ke-2 H. telah banyak melahirkan para Imam Mujtahid di berbagai bidang, diantaranya dibidang Fiqih dan Ilmu Kalam. Meski pun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, akan tetapi mereka saling menghormati.
Akan tetapi memasuki abad ke-3 H., para pengikut masing-masing Imam berpendapat bahwa Imamnya-lah yang benar, sehingga menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Diantara pengikut fanatik akhirnya menciptakan hadits-hadits palsu dalam rangka memaksakan pendapat mereka.
Dan setelah Khalifah Al-Ma’mun berkuasa mendukung golongan Mu’tazilah. Perbedaan pendapat tentang kemakhlukan Al-Quran dan siapa yang tidak sependapat akan dipenjara dan disiksa, salah satu Imam yaitu Imam Ahmad bin Hambal yang tidak mengakuinya. Setelah pemerintahan Al-Muwakkil, maka barulah keadaan berubah pisitif bagi Ulama.
2. Upaya pelestarian hadits.
Diantara kegiatan yang telah dilakukan para ulama hadits dalam rangka memelihara kemurnian hadits Rasulullah SAW. adalah :
a). perlawatan kedaerah-daerah
b). pengklasifikasian hadits kepada : marfu’, mawquf, dan maqthu’.
c). penyeleksian kualitas hadits dan pengklasifikasian kepada : shahih, hasan, dha’if.
3. Tokoh-tojoh pengumpul hadits.
Di antara tokoh-tokoh hadits yang lahir pada masa ini adalah :
‘Ali Ibn Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabary, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An Nasa’i, Abu Daud, At-Turmudzy, Ibnu Majah, Ibnu Khutaibah Ad-Dainury.
4. Kitab-kitab hadits pada abad ke-3 Hijriah.
Di abad ke-3 Hijriah ini telah muncul berbagai kitab hadits yang agung dan monumental serta menjadi pegangan umat Islam sampai sekarang diantaranya adalah :
1). Shahih Bukhari.
2). Shahih Muslim.
3). Kitab Sunan Abu Daud.
4). Kitab Sunan At-Thurmudzy
5). Kitab An-Nasa’i.
6). Kitab Sunan Ibn Majah.
7). Musnad Ahmad.

F. Hadits pada Abad ke-4 Sampai ke-5 (Masa Pemeliharaan, Penerbitan, Penambahan, dan Penghimpunan)
Masa ini adalah masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab jami’ yang khusus.
1. Kegiatan Periwayatan Hadits pada Periode ini
Periode ini dimulai dari masa Khalifah Al Muktadir sampai Khalifah Al Mukhtasim. Meskipun kekuasaan Islam pada masa ini mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 H. akibat serangan Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan. Kegiatan para ulama hadits tetap berlangsung sebagaimana periode-periode sebelumnya, hanya saja hadits-hadits yang dihimpun pada periode ini tidak sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadits yang dihimpun pada periode ini diantaranya:
1) Ash-Shahih oleh Ibnu Khuzaimah. (313 H.)
2) Al-Anma’wa Al Taqsim oleh Ibn Hibban. (354 H.)
3) Al-Musnad oleh Abu Amanah. (316 H.)
4) Al-Mustaqa oleh Ibn Jarud.
5) Al-Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al-Wahid al-Maqdisi.
Setelah lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya hanyalah merujuk pada karya-karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.
2. Bentuk penyusunan kitab hadits pada periode ini:
Para ulama hadits periode ini memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan hadits, yaitu:
a) Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik dari sanad kitab hadits yang dikutip matannya atau kitab-kitab lain, contohnya:
1. Athraf Ash-Shahihainis, oleh Al-Dimasyqi (400 H.)
2. Athraf Ash-Shahihainis, oleh Abu Muhammad Khalaf Ibn Muhammad Al Wasithi (w. 401 H.)
3. Athraf As-Sunnah Al-Arba’ah, oleh Ibn Asakir Al-Dimasyqi (w. 571 H.)
4. Athraf Al-Kutub Sittah, oleh Ibn Tharir Al-Maqdisi (507 H.)
b) Kitab-Kitab Mustadhrak, Kitab ini memuat matan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau lainnya, dan selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadits tersebut dengan sanadnya sendiri, contoh:
1. Mustadhrak Shahih Bukhari, oleh Jurjani
2. Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H.)
3. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu Bakar Ibn Abdan As-Sirazi (w. 388 H.)
c) Kitab Mustadhrak, Kitab ini menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim, contohnya:
1. Al-Mustadhrak oleh Al-Hakim (321-405 H.)
2. Al-Ilzamat, oleh Ad-Daruquthni (306-385 H.)
d) Kitab Jami’. Kitab ini menghimpun hadits-hadits yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada yaitu yang menghimpun hadits Shahih Bukhari dan Muslim. Contohnya:
1. Al-Jami’ Al-Bayan Ash-Shahihain, oleh Ibn Al-Furat (Ibn Muhammad Al Humaidi (w. 414 H.)
2. Al-Jami’ Al-Bayan Ash-Shahihain, oleh Muhammad Ibn Nashir Al Humaidi (488 H.)
3. Al-Jami’ Al-Bayan Ash-Shahihain, oleh Al-Baqhawi (516 H.)

G. Hadits pada abad ke-5 sampai sekarang (Masa Pensyarahan, Penghimpunan, Pentakhrijan, dan Pembahasannya)
a. Kegiatan Periwayatan Hadits pada Periode ini.
Periode ini dimulai sejak kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, yang ditaklukan oleh tentara Tartar (656 H./1258 M.), kemudian kekhalifahan Abbasiyah tersebut dihidupkan kembali oleh Dinasti Mamluk dari Mesir setelah mereka menghancurkan bangsa Mongol tersebut.
Pembaiatan Khalifah oleh Dinasti Mamluk hanyalah sekedar simbol saja agar daerah-daerah Islam lainnya dapat mengakui Mesir sebagai pesat pemerintahan dan selanjutnya mengakui Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam, akan tetapi pada abad ke-8 H. ‘Utsman Kajuk mendirikan kerajaan Turki di atas puing-puing peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah, sehingga bersama-sama dengan keturunan ‘Utsman menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya dan selanjutnya membangaun Daulah ‘Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Dengan berhasilnya mereka menaklukan Konstatinopel dan Mesir serta meruntuhkan Dinasti Abbasiyah, maka berpindahlah kekuasaan Islam di Mesir ke Konstantinopel.
Pada Abad ke-13 H. (awal abad ke-19 H.) Mesir dengan dipimpin oleh Muhammad ‘Ali, mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa yang dimotori oleh Inggris dan Perancis semakin bertambah kuat dan berkeinginan besar untuk menguasai dunia, mereka secara bertahap mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M. sampai ke awal abad 20 M., hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh Bangsa Eropa, kebangkitan kembali dunia Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M.
Sejalan dengan keadaan dan kondisi-kondisi dunia Islam di atas, maka kegiatan periwayatan hadits pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara Izajah dan Mukatabah. Sedikit sekali ulama hadits pada periode ini melakukan periwayatan hadits secara hafalan sebagaimana dilakukan oleh ulama mutaqaddimin, diantaranya yaitu:
1. At-Traqi (w. 806 H/1404 M.), dia berhasil mendiktekan hadits secara hapalan kepada 400 majelis sejak 796 H./1394 M. dan juga menulis beberapa kitab hadits.
2. Ibn Hajar Al-Asqalani (w. 852 H/1448 M.) seorang penghapal hadits yang tiada bandingnya pada masanya. Dia telah mendiktekan hadits kepada 1.000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadits.
3. As-Sakhawi (w. 902 H./1497 M.) murid Ibn Hajar yang telah mendiktekan hadits kepada 1.000 majelis dan menulis sejumlah buku.
b. Bentuk Penyusunan Hadits pada Periode ini:
Pada periode ini para ulama hadits mempelajari kitab-kitab hadits yang telah ada, dan selanjutnya mengembangkannya atau meringkasnya sehingga menghasilkan jenis karya sebagai berikut:
a. Kitab Syarah, yaitu: Jenis kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadist dari kitab tertentu dan hubungannya dari dalil-dalil lainnya yang bersumber dari Al-Quran dan hadist atau pun kaidah-kaidah syara’ yang lainnya
Contohnya :
1. Fath Al-Bari, oleh Ibn Hajar Al-Asqalani, yaitu Syarah Shahih kitab Al- Bukhari.
2. Al-Minhaj, oleh An-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3. ‘Aun Al-Ra’hud, oleh Syams Al-Haq Al-Achim Al-‘Abdi, Syarah Sunan Abu Dawud.
b. Kitab Mukhtasar, yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadist, seperti Mukhtasar Shahih Muslim oleh Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi.
c. Kitab Zawa’id, yaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari kitab tertentu yang tidak dimuat.






BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits di masa Rasulullah SAW. tidak mendapatkan kebebasan bagi para sahabat untuk menuliskannya, sebab pada waktu itu ayat-ayat suci Al-Quran masih tetap akan turun kepada Nabi SAW. Tetapi pelarangan itu hanya bersifat umum, sebab ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash mendapatkan izin langsung dari Nabi SAW.
Pada masa Khulafa’ Rayidin, umat Islam juga masih belum antusias untuk membukukan hadits, diriwayatkan bahwa Khalifah Abu Bakar pernah membakar hadits-hadits milik puterinya; Aisyah. Dan Khalifah ‘Umar pernah melarang tegas untuk menuliskan hadits. Kedua Khalifah itu beralasan untuk menjaga kemurnian Al-Quran karena takut bercampur dengan hadits. Adapun setelah wafatnya Khalifah ‘Ali, maka muncullah hadits-hadits palsu yang digunakan untuk kepentingan golongan umat Islam yang pada waktu itu sudah terkotak-kotak.
Baru pada tahun 99 H. terangkatlah seorang Khalifah yang bernama ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, yang memerintahkan kepada semua para petinggi untuk menyuruh para ulama menuliskan hadits dan membukukannya. Pada masa itu dan masa setelahnya banyak sekali ulama-ulama hadits yang sangat memukau, baik dalam pembukuan, pentshihan dll.

B. Saran
Sebagai rujukan yang dijadikan dasar ke-2 setelah Al-Quran, maka kami sangat menganjurkan kepada saudara seiman untuk belajar dan memahami semua pelajaran ‘Ulum Al-Hadits.




















DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Prof. Tengku. (2009). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Hujair, (2008). Kajian Hadits dan Perbedaannya Dengan As-Sunnah, Al-Khabar dan Atsar. http//sanaky.com.

Rahman, Drs. Fatchur. (1995). Ikhtisar Musthalahul Hadits. Tamblong: PT. Alma’ruf Bandung.